Baru saja selesai menulis judul, mata saya sudah berair. Mamak ini segalanya lah buat saya, bukan berarti ayah tak punya peran. Tapi saya berani katakan kalau mamak mengambil peran yang paling besar dalam hidup saya, sampai sekarang!
Mamak dan ayah kelahiran Batak Karo asli, hidup dan besar dengan budaya masa lalu. Di kampung mamak, perempuan semacam pesuruh, dan bapak-bapaknya semacam Tuan Takur, banyak ongkang, banyak omong.
Maksudnya?
Jadi begini, di kampung saya itu ada budaya “warung kopi”. Bangun tidur, bapak-bapak di kampung bukannya bantu beberes tapi kabur ke warung kopi! Ini tiap pagi, lho… Pernah saya melewati warung kopi waktu mengikuti bibik (saudara kandung mamak) ke sungai untuk ambil air, dan terkejut melihat warung kopi sudah penuh!
Istrinya bapak-bapak itu?
Bangun tidur segera lipat selimut, masak sarapan untuk serumah, mengaduk makanan babi di atas pendiangan kayu, dan ambil air di sungai yang jauhnya lebih satu kilometer.
Tinggal di kampung beberapa lama sukses membuat saya bernazar, “Tak akan kawin dengan laki-laki Batak Karo!”
Saya lahir di Lampung, tahun 83, beberapa tahun setelah mamak dan ayah tiba merantau. Walaupun di Lampung tidak ada lagi babi, tidak perlu lagi mengambil air jauh-jauh, perempuan tetap memegang peranan utama dalam tumbuhnya ekonomi keluarga. Pernah jadi buruh di ladang orang, pernah buka warung, dan yang terakhir-yang paling langgeng-mamak memilih berjualan ikan di Pasar. Sekarang mamak sudah memensiunkan diri, diabetes lumayan menggerogoti daya tahan tubuhnya. Mamak jadi lemah, tak kuat lagi menjelang nelayan dan ke laut jam 1 dini hari.
Mamak dalam benak saya?
PAHLAWAN!
Bukan cuma perjuangannya mencari makan dan membesarkan enam anak (tujuh dengan ayah saya), tapi soal nilai-nilai yang dia turunkan kepada anak-anaknya, saya khususnya.
Mamak mengajarkan saya pentingnya bekerja keras. Mamak mengajarkan saya soal pantang menyerah. Mamak mengajarkan saya menabung (ini penting lho). Mamak mendorong saya untuk pergi kuliah yang jauh. Mamak mengajarkan saya berdiri di atas kaki sendiri. Mamak mengajarkan saya kuat.
Ketika diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan, mamak menyiapkan segala keperluan dan menyelipkan segepok uang-yang dia dapat entah dari mana- ke tas. Kami sama-sama menunggu bus di pinggir jalan besar, dan ketika bus AKAP Jakarta – Medan tiba, mamak memalingkan wajahnya, jauh.
Mamak tak mau terlihat menangis. 32 tahun mengenalnya, hanya pada momen lebaran saja dia bersedia memerlihatkan tangisnya. Sisanya, dia sembunyikan, dia telan sendirian.
Cukup sudah cerita sedih. Mamak saya bukan penyedih kok. Mamak adalah orang yang ceria dan gembira.
Momen menyenangkan tentang mamak yang paling saya ingat adalah, ketika saya pulang ke Lampung dalam keadaan super tambun.
Mamak : Kok gemuk kali, ada sekuintal beratmu, ya?
Saya : Nggak kok, Mak. Masih kurang lima kilo lagi.
Mamak : Kurang-kurangilah makannya. Nanti susah bawa badan.
Saya : Iya, Mak.
satu jam kemudian, Mamak menjerit dari dapur.
Mamak : Oii, Santi!
Saya : Iya, Mak.
Mamak : Ini Mamak udah masak kok ga ada yang makan? Ayok kita makan sama-sama. Ambil piringmu, langsung penuhi. Mamak masak arsik, daun singkong tumbuk. Suka kau kan?
Oii Mak…
Sudah lupa dia kalau tadi kasi petuah untuk kurang-kurangi makan…
Jadi, nambah makan berapa piring kita?
/dear mom, cinta penuh untukmu
sehat sehat ya mak *salim
Aminn, makasi banyak mbaaaa
Mak …
Ahhh, kan jadi kangen mamakk
Cuma bs titip salam, sehat trs ya mak …
main ke rumah ga apa kok pi. 🙂
Iya kak. Hehehe
Tp g enak. Hihihi
ngapain ga enak, kan Pipi anak mamak juga. 🙂
Aaaaaaaaakkkkkkkkk
:'(
😀
Kakak balik rumah tanggal 20. Yuk jumpa, silaturahmi aja. 😀
Wahhh pipi lg d jogja kak. Kpn itu jg ketemu kak maya sepintas d malioboro.
Yah, eh nanti akhir pekan ini aku balik Lampung lagi sih. Jemput Embun.
Yuk dateng!
Wahh embun d tinggal d lampung ya. Yess disempatkan nanti 🙂
😆 mamak-mamak yaaaaa. berisiknya kadang suka bikin bising di kuping, tapi diamnya suka ngangenin. sehat-sehat ya mak. juga buatmu, mak rere.
Aku kalo pulang, pasti berantam.
Tapi jauh gini, rindunya macam dendam, luar biasa pekat.
huaaaaa. peluk. doakan mamak banyak-banyak ya ^_^
Pasti nona. Pasti. 🙂
Ah aku mrembes mili bacanya. Secara yang aku panggil mamak adalah ibu dari ibuku alias nenekku.
Kok samaan sih kita mba,kalau dekat pasti berantem,kalau jauh kangen. Dan postingan dirimu sukses bikin kangen nenekku yang sudah tiada….
Hiaaaa, entah kenapa ya kalo deket itu bawaannya pingin berantem muluk!
Sehat terus Mamaknya Mbak Rere. Kebayang betapa kuatnya beliau. Hihihi. Lucu juga ya nasehatnya dan ajakan setelahnya. 😀
Aminnn, makasii mas. 🙂
Ah… Re,
Membayangkan Mamak, setitik air pun terjebak di sudut mata…
Mamak luar biasa mba.
Luar biasa.
Aku entah apa tanpa dia.
Jadi ingat mamakku eh…ibuku yang sudah tiada 7 tahun lalu. Ibuku pun perempuan yang tangguh…
sungkem buat mamakmu, Mak…
Aahhh. Pelukk..
*tambah kangen*
Huaaaaa…jadi kangen emak. Luar biasa mamakmu, Mbak Tere :*
*sungkem*
Salam sujud untuk semua emak-emak sejagad.
Mereka luar biasa
duuuh, ibu tuh ya suka takuuuut aja anaknya kurang makan. saya tuh dulu waktu gadis ga suka makan mba, nasi tuh kalo ambil dikiiit. kalo smua orang udah makan, trus malem2 ada sisa sayur atau lauk lain suka disuapkan ke saya padahal saya dah gede, SMA-an gitu.
Hahhahaha… iya, sayangnya ibu unik banget ya. 😀
paling sebal kalau mamakku sudah merepet. Tapi kalau dia diam atau pergi lama aja, busyet rumah sepi amat. kangen sesuatu, tapi sulit diungkapkan. *lihat mamak sendiri* pengen peluk tapi gengsi ah
Hooh, repetannya bikin rindu.
Tapi kalo direpet terus cape juga.
ahahhahahaa
Wah jadi kangen Ibu, meski Ibu kadang suka nyebelin, hihihi 😀
Banget mba, jadi rindu berat sama mamak.
Hahaha. Bukan rasis, tapi kalau diperhatikan kebanyakan tipikal wanita sumatra itu “kuat” yah, Ibu saya pun begitu. :))
Iya mba, kayanya budaya ini ya.