Matahari belum begitu tinggi waktu aku melangkahkan kaki ke Stasiun Wonokromo. Setitik keringat meluncur turun dari dahi, lalu diam-diam menelusup masuk dari ujung mata.
Perih.
Sejak semalam, otakku bekerja riuh. Bukan hal-hal penting, bukan hal darurat, dan tak bisa kuceritakan kepada siapa-siapa, karena hanya akan berbuah tatap kasihan saja.
Penat.
Langkahku melaju tanpa arah, Sesekali sapaan abang becak membuyarkan lamunan. “Mau diantar, Mba,” kata mereka bolak-balik menawarkan jasa. Setelah menggelengkan kepala, baru mereka berhenti.
Pecah.
Satu, dua, sepuluh, ku melangkah pelan. Stasiun sudah padat, antrian mengular di loket tiket. Ada ibu yang sedang menggendong bayi, seorang bapak menikmati rokok, petugas keamanan hilir mudik.
Meriah.
Selangkah ke depan, lalu mataku tertumbuk pada telepon umum. Tua, berkarat, tapi terpasang kuat. Kepala melayang, memori tentangmu meletus, hati perih, kepala pedih. Rindu. Lirih mulutku berucap, berharap angin membawa desaunya jauh, ke telingamu.
Apakah tak apa, jika aku meneleponmu?
/oderindu, masih untuk tuan.
mendingan telpon nya pake hp dah.. kayaknya telpon umumnya udah rusak itu.. hehehe
Memang, kamu seratusss
Hmmm…
Hmmmm…
SMS dulu lah yaaa, ntar kalo udah gw bales, baru kita telp2an.
Kalo ngak gw bales, berarti ada istri gw di samping ku yessss hahaha
Hahhhahah, kode keras ini kak cumi.
Btw masih sms sekarang, wasap mana wasap?
jaman dulu tlp koin ini pun dimanipulasi oleh beberapa temen, koin dibolongi ujungnya dan diberi tali. setelah koin masuk suka ditari keluar lagi.. duh kasian sekali kmu wahai telepon koin
hooh, itu kerjaan jaman dulu bangettt hahhaha